Sebagaimana namanya, ia 'wanita mulia'. Ditinggal suaminya, ia mendidik sendiri 15 anaknya sampai meraih sarjana. Tak pernah memukul atau kata kasar. "Modalnya Ikhlas," katanya.
Wawancara:
Hidayatullah.com--Jika ukurannya gelar akademis, Mulia Kuruseng termasuk orang yang sukses dalam mendidik anak. Janda beranak 15 ini berhasil mengantarkan anak-anaknya menggapai gelar sarjana, ada yang profesor, doktor, master, insinyur, dan letnan.
Sejak tahun 1985, Mulia menjadi single parent (orangtua tunggal) bagi 15 anaknya. "Saya berfungsi sebagai ibu sekaligus bapak," ungkapnya bersemangat. As'ad, sang suami, meninggal pada Oktober 1985 akibat penyakit hipertensi dan jantung.
As'ad seorang pedagang kain, pakaian jadi, dan sarung Bugis di Pare Pare (Sulawesi Selatan). Waktu itu, As'ad termasuk seorang pengusaha yang sukses. Omset usahanya tiap bulan mencapai Rp 100 juta.
Mulia bukan seorang guru apalagi bergelar sarjana, tapi hanya tamatan SD. As'ad pun cuma tamat SMA. "Saya menikah saat kelas II Muallimin, saya hanya punya ijazah SD," kenangnya.
Bagaimana bisa ibu rumah tangga ini sukses mengantar 15 anaknya meraih berbagai gelar akademis? Wartawan Hidayatullah menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan nenek dari 24 cucu ini di kediamannya, Jl Matahari No 20 Pare-Pare.
Bagaimana perasaan Anda dalam membesarkan 15 anak sendirian?
Saya tidak pernah mengeluh. Saat itu saya tidak berpikir bagaimana nanti. Saya nekad saja. Alhamdulillah, Allah selalu berikan saya rezeki sedikit demi sedikit.
Apa saja yang Anda lakukan?
Saya berusaha melanjutkan usaha Bapak. Kan Bapak punya kios, ada barangnya. Dulu Bapak berhasil. Tetapi saat meninggal, semua piutang tersendat.
Saya sampaikan kepada anak-anak agar tetap melanjutkan sekolah. Jangan ada yang berpikir putus sekolah. Kan masih ada Tuhan. Alhamdulillah, itu semua terwujud. Waktu itu yang bungsu berusia tiga tahun.
Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil waktu itu?
Kebetulan waktu itu anak yang kedua (Suryani) dan ketiga (Indriyati) sudah menikah. Indriyati sebenarnya belum selesai kuliah, tapi dia sudah menikah. Merekalah yang banyak membantu saya mengurus adik-adik. Merekalah yang men-support adik-adiknya untuk maju sekolah.
Apa yang paling Anda tekankan dalam mendidik anak-anak?
Prinsip saya mendidik anak-anak ada tiga hal, yaitu ikhlas, jujur, dan sabar. Kejujuran saya tanamkan sejak mereka kecil, ini turunan dari kakeknya. Kami dulu dididik untuk senantiasa jujur. Jika ada makanan di meja, tidak ada yang langsung mau makan, harus dibagi dulu. Jika ada uang di meja, mereka berteriak mencari siapa yang punya. Jadi, di rumah ini tidak pernah terjadi kehilangan uang.
Dengan 15 anak, untuk bersikap sabar tentu berat ya. Pernahkah Anda memukul atau mencubit mereka?
Saya tidak pernah memukul mereka. Contohnya, si bungsu pernah mogok makan. Gara-garanya minta dibelikan sepeda motor karena temannya semua sudah beli motor. Saya tidak marah. Saya hanya bersabar. Tiba-tiba temannya yang punya motor tabrakan dan meninggal dunia. Saya sampaikan kepada dia, "Saya sayang kamu Nak." Apalagi memang saya tidak punya uang.
Saya selalu mengeluarkan bahasa-bahasa yang sopan. Mereka tidak pernah dipukul, juga tidak pernah dibentak. Jika ada yang salah, saya tegur saat dia lagi sendiri agar tidak tersinggung, di saat adik atau kakaknya tidak ada.
Jika ada yang mau saya tegur, saya carikan waktu khusus. Karena jika anak nakal satu, bisa jadi nakal semua. Saya selalu ingatkan dengan bahasa sopan. Anak-anak ini semua (sambil menunjuk foto-foto mereka) tidak ada yang pernah kena cambuk.
Kalau marah sama mereka, saya pergi wudhu kemudian shalat sunah. Nanti setelah tenang baru saya nasihati mereka.
(Hasmi As'ad (48), anak sulungnya, mengaku belum pernah merasakan kerasnya tangan ibunya. "Saya kira adik-adik juga begitu," kata dokter yang kini menjadi Kepala Kesehatan Pertamina Wilayah Selatan.
Kalau marah, katanya, sang ibu biasanya diam. "Baru beberapa saat kemudian Ibu bicara," ujarnya.)
Bagaimana menanamkan keikhlasan?
Saya tidak pernah berpikir untuk mendapat gantinya, atau anak-anak membalas jasa-jasa saya. Tidak, saya betul-betul ikhlas.
Saya juga tekankan pada mereka untuk ikhlas dalam memberi. Jika saya minta mereka membantu adik-adiknya, harus betul-betul ikhlas, jangan dipaksakan. Saya bilang kepada yang punya istri, jangan bebani istrimu. Jika tidak setuju, jangan dilakukan. Tetapi justru menantu-menantu yang paling dulu memberi. Mereka bilang, "Kami ikhlas."
(Keluarga ini punya kebiasaan saling membantu, bila saudaranya yang lain memerlukan dana. Contonya saat Sumarni (anak ke-14) mau beli mobil, Mulia menghubungi anak-anaknya yang lain. Akhirnya mereka patungan, ada yang memberi Rp 5 juta, Rp 10 juta, sehingga terkumpul 70 juta untuk beli mobil).
Dalam hal ibadah, bagaimana Anda mendidik anak-anak?
Saya tidak pernah menyuruh mereka untuk shalat, tetapi saya harus mencontohkannya. Saya dulu yang kerjakan, baru kemudian saya suruh mereka. Kita tidak bisa suruh anak-anak sebelum kita mencontohkannya.
Untuk kesehariannya, saya melarang anak-anak memasukkan urusan-urusan di luar ke dalam rumah, termasuk juga dalam berbahasa. Bahasa yang tidak dipakai di rumah dilarang masuk ke dalam rumah. Bahasa di luar dipakai di luar saja, tidak boleh masuk ke dalam rumah.
Dalam hal ruhani, kebetulan saya bertetangga dengan KH Abdul Pa'baja (ulama besar di Pare Pare). Beliau juga yang banyak membantu menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anak. Di sinilah terbentuknya fondasi anak-anak.
Semua anak Anda bergelar sarjana, apakah memang ditekankan soal ilmu?
Oh, tidak. Saya cuma tekankan bahwa siapa yang tidak sekolah ayo bantu ibu. Akhirnya mereka semua mau sekolah. Saya juga buat persaingan di antara mereka. Saya tidak pernah secara langsung menekankan mereka untuk sekolah, saya hanya buat persaingan. Siapa yang rangking I akan lebih tinggi hadiahnya daripada yang rangking II. Jadi, mereka terus berlomba. Mereka rata-rata rangking satu, dan SD-nya lima tahun.
Saya tidak pernah menyogok, baik ketika anak-anak sekolah ataupun mencari pekerjaan.
Rezeki itu datangnya dari Allah, tidak perlu disogok. Insya Allah, di rumah ini bersih. Untuk bekerja, anak-anak bilang, "Saya tidak usah bekerja jika harus menyogok."
Mengapa tidak berpikir untuk menikah lagi?
Wah, siapa yang mau mengurus anak sebanyak ini? He...he.... Yang jelas sejak suami meninggal, saya berjanji untuk melanjutkan perjuangannya dengan menyekolahkan anak-anak. Bahkan saya pernah bersumpah untuk itu, saat suami saya di rawat di rumah sakit.
Apa aktivitas Anda sekarang?
Saya di rumah saja, kadang ke pasar jaga toko, itu pun tidak serius. Saya hanya duduk, berdzikir, dan mengaji. Jika di toko, saya kadang menghabiskan dua juz dari pagi hingga Dhuhur.* (Sarmadani, Makasar/hidayatullah.com)
***
Nama-nama anak Hj Mulia Kuruseng:
1. Dr Hasmi As'ad (48), alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin (Unhas), saat ini menjadi Kepala Kesehatan Pertamina Wilayah Sulawesi.
2. Prof DR dr Hj Suryani As'ad, MSc, SpGK (46), profesor muda di Fakultas Kedokteran Unhas.
3. Dr Indriyati As'ad (44), MM. Dokter umum di LNG Bontang (Kalimantan Timur), meraih gelar master dari Universitas Mulawarman, Samarinda.
4. Dr Imran As'ad, SpD (42), dokter spesialis penyakit dalam alumnus Unhas, bertugas di Luwuk.
5. Ir Siswana As'ad (40), bekerja di Kantor Poleko Group, Makassar.
6. Ir Solihin As'ad, MT (39), sedang melanjutkan S-3 di Austria.
7. Wahidin As'ad (37), drop-out Fakultas Ekonomi Unhas, pengusaha sukses di Makassar.
8. Ir Suriasni As'ad (37), arsitek dari Unhas, kontraktor.
9. Ir Nurrahman As'ad, MT (34), alumnus ITB, dosen di Universitas Islam Bandung (Unisba).
10. Ir Rahmat Hidayat, MS (33), master dari ITB, kini sedang menempuh studi doktor di Jepang.
11. Ir Jabbar Ali As'ad (31), dosen Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Baramuli Kabupaten Pinrang.
12. Munir Wahyudi, SE, Ak, MM (29), magister dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, dosen beberapa perguruan tinggi di Bandung.
13. Ir Muhammad Arif As'ad, MM (27), alumnus Fakultas Teknik UGM, gelar masternya dari ITB, saat ini bekerja pada PT Indika Entertaimen Jakarta.
14. Sumarni Aryani As'ad, SKed (26), alumnus Fakultas Kedokteran Unhas.
15. Letda Kurnia Gunadi (24), alumnus Akademi Angkatan Laut, Surabaya.
:::The 13th Hokage and the last jedi::: (*_)Smells like Fish..Taste Like Chicken(_*)
09 Februari 2010
Ketika tuhan disingkirkan...
Oleh Republika Newsroom
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada.”
Harun Yahya, dalam bukunya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity (Al-Attique Publishers Inc.), menggambarkan berbagai bencana kemanusiaan yang ditimbulkan akibat Darwinisme, di antaranya berupa rasisme dan kolonialisme. Ketika ilmu dijauhkan dari tuntunan wahyu; ketika ilmu diabdikan untuk memuaskan hawa nafsu, maka bencana kemanusiaan tidak mungkin terhindarkan.
Peradaban Barat, ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan sumbangan besar bagi berbagai kemu -dahan fasilitas hidup. Tapi, pada sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi besar kepada penghancuran alam semesta. (Lihat, Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, 1997).
Di zaman modern ini pula, menusia telah membelanjakan secara ‘gila-gilaan’ alat-alat pembunuh massal. Sekedar contoh, Jeremy Isaacs dan Taylor Dow ning, dalam bukunya, Cold War, memaparkan, antara 1945-1996 saja, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($ 8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan di seluruh dunia. Puncaknya, persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Padahal, seluruh bom yang diledakkan pada Perang Dunia II ‘hanya’ 6 megaton.
Dunia kedokteran modern, misalnya, mengenal praktik vivisection (arti harfiah ”memotong hidup-hidup”) yaitu cara menyiksa hewan hidup, sebagai dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia (Pietro Croce, Vivisection or Science: An Investigation into Testing Drugs and Safeguarding Health, 1999). Praktik ini selain tidak beretika keilmuan dan tidak “berperikemanusiaan” juga menyisakan pertanyaan intrinsik tentang asumsi atas tingkat kesamaan uji laboratorium hewan dan manusia yang mengesahkan eksplorasi hasil klinis dari satu ke lainnya.
Dalam dunia pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia seperti luasnya penggunaan pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetis dan seterusnya, telah meracuni bumi, membunuh kehidupan margasatwa bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Pertanian yang semula disebut dengan istilah agriculture (kultur, suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal, dan kooperatif, bukan kompetitif) berkembang lebih populer dengan istilah agribusiness, sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah sendiri (Adi Setia, Three Meanings of Islamic Science Toward Operasionalizing Islamization of Knowledge, 2007).
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada”. Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan rasio, tapi mengakui eksistensi seseorang hanya bagi mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.
Pendapat Descartes bahwa sumber ilmu adalah rasio dan panca indra diikuti para filosof lain seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John Locke, JJ Rousseau, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Bertrand Russell, Emilio Betti, Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Selanjutnya pendapat ini melahirkan pembaratan (westernisasi) yang menekankan dasar ilmu pengetahuan adalah rasio dan panca indra.
Pendapat ini makin membuat peran akal menguat sehingga menafikan peran Wahyu dan melahirkan ide-ide ateis. Immanuel Kant menyatakan bahwa segala hal yang berbau metafisika tidak mungkin mencapai kebenaran karena tidak bersandarkan kepada panca indra. Menurut Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam mate matika, fisika dan ilmu-ilmu yang ber dasar fakta empiris (Justus Harnack, Kant’s Theory of Knowledge, 1968, hal 142-145).
Ide Kant ini berpengaruh pada filosof lain, di antaranya Hegel yang melahirkan filsafat dialektika tesis-antitesis. Intinya, pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal (tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Ide ini kemudian melahirkan paham ateisme yang diusung oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx (m. 1883). Marx berpendapat bahwa agama adalah ’keluhan mahluk yang tertekan”. Agama adalah candu. Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001, hal 71-76).
Selain Karl Marx, ilmuwan Barat sekuler yang berpengaruh luas dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (m. 1882). Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Mahluk hidup bisa hidup dan bertahan karena faktor adaptasi pada lingkungan. Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan mahluk hidup. Semua spesies yang berbeda se -benarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan karena kondisi-kondisi alam (natural conditions) (Charles Darwin, The Origin of Species, 1958, hal 437).
Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Lucunya, psikologi modern, justru menjauhkan ilmu itu dari objek kajian utamanya, yaitu “jiwa” manusia itu sendiri. Dalam bidang Sosiologi, positivisme August Comte berhasil menggusur peran agama. Di bidang politik, Machiaveli menggulirkan politik tanpa moral. Bahwa politik adalah sekedar mekanisme untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Di lapangan filsafat ada Friedrich Nietzche (1844-1900) dengan semboyannya ”God is dead”.
Dalam bukunya, A History of God (1993), Karen Armstrong menulis sebuah bab berjudul “Does God have a Future?” Di Barat, gugatan terhadap eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan, terus dikumandangkan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) bertahan dengan pendapatnya, ”even if God existed, it was still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.”
Jadi, ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan, agar kebebasan kita tidak terganggu; agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, al-Quran justru menjelaskan: ”Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).
Sumber: republika
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada.”
Harun Yahya, dalam bukunya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity (Al-Attique Publishers Inc.), menggambarkan berbagai bencana kemanusiaan yang ditimbulkan akibat Darwinisme, di antaranya berupa rasisme dan kolonialisme. Ketika ilmu dijauhkan dari tuntunan wahyu; ketika ilmu diabdikan untuk memuaskan hawa nafsu, maka bencana kemanusiaan tidak mungkin terhindarkan.
Peradaban Barat, ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan sumbangan besar bagi berbagai kemu -dahan fasilitas hidup. Tapi, pada sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi besar kepada penghancuran alam semesta. (Lihat, Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, 1997).
Di zaman modern ini pula, menusia telah membelanjakan secara ‘gila-gilaan’ alat-alat pembunuh massal. Sekedar contoh, Jeremy Isaacs dan Taylor Dow ning, dalam bukunya, Cold War, memaparkan, antara 1945-1996 saja, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($ 8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan di seluruh dunia. Puncaknya, persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Padahal, seluruh bom yang diledakkan pada Perang Dunia II ‘hanya’ 6 megaton.
Dunia kedokteran modern, misalnya, mengenal praktik vivisection (arti harfiah ”memotong hidup-hidup”) yaitu cara menyiksa hewan hidup, sebagai dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia (Pietro Croce, Vivisection or Science: An Investigation into Testing Drugs and Safeguarding Health, 1999). Praktik ini selain tidak beretika keilmuan dan tidak “berperikemanusiaan” juga menyisakan pertanyaan intrinsik tentang asumsi atas tingkat kesamaan uji laboratorium hewan dan manusia yang mengesahkan eksplorasi hasil klinis dari satu ke lainnya.
Dalam dunia pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia seperti luasnya penggunaan pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetis dan seterusnya, telah meracuni bumi, membunuh kehidupan margasatwa bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Pertanian yang semula disebut dengan istilah agriculture (kultur, suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal, dan kooperatif, bukan kompetitif) berkembang lebih populer dengan istilah agribusiness, sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah sendiri (Adi Setia, Three Meanings of Islamic Science Toward Operasionalizing Islamization of Knowledge, 2007).
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada”. Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan rasio, tapi mengakui eksistensi seseorang hanya bagi mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.
Pendapat Descartes bahwa sumber ilmu adalah rasio dan panca indra diikuti para filosof lain seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John Locke, JJ Rousseau, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Bertrand Russell, Emilio Betti, Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Selanjutnya pendapat ini melahirkan pembaratan (westernisasi) yang menekankan dasar ilmu pengetahuan adalah rasio dan panca indra.
Pendapat ini makin membuat peran akal menguat sehingga menafikan peran Wahyu dan melahirkan ide-ide ateis. Immanuel Kant menyatakan bahwa segala hal yang berbau metafisika tidak mungkin mencapai kebenaran karena tidak bersandarkan kepada panca indra. Menurut Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam mate matika, fisika dan ilmu-ilmu yang ber dasar fakta empiris (Justus Harnack, Kant’s Theory of Knowledge, 1968, hal 142-145).
Ide Kant ini berpengaruh pada filosof lain, di antaranya Hegel yang melahirkan filsafat dialektika tesis-antitesis. Intinya, pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal (tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Ide ini kemudian melahirkan paham ateisme yang diusung oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx (m. 1883). Marx berpendapat bahwa agama adalah ’keluhan mahluk yang tertekan”. Agama adalah candu. Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001, hal 71-76).
Selain Karl Marx, ilmuwan Barat sekuler yang berpengaruh luas dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (m. 1882). Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Mahluk hidup bisa hidup dan bertahan karena faktor adaptasi pada lingkungan. Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan mahluk hidup. Semua spesies yang berbeda se -benarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan karena kondisi-kondisi alam (natural conditions) (Charles Darwin, The Origin of Species, 1958, hal 437).
Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Lucunya, psikologi modern, justru menjauhkan ilmu itu dari objek kajian utamanya, yaitu “jiwa” manusia itu sendiri. Dalam bidang Sosiologi, positivisme August Comte berhasil menggusur peran agama. Di bidang politik, Machiaveli menggulirkan politik tanpa moral. Bahwa politik adalah sekedar mekanisme untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Di lapangan filsafat ada Friedrich Nietzche (1844-1900) dengan semboyannya ”God is dead”.
Dalam bukunya, A History of God (1993), Karen Armstrong menulis sebuah bab berjudul “Does God have a Future?” Di Barat, gugatan terhadap eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan, terus dikumandangkan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) bertahan dengan pendapatnya, ”even if God existed, it was still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.”
Jadi, ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan, agar kebebasan kita tidak terganggu; agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, al-Quran justru menjelaskan: ”Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).
Sumber: republika
08 Februari 2010
Hati - hati dengan susu sapi....
dari blognyajose.blogspot.com
Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu -kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti menyalahi perilaku yang alami seperti itu?
"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme (Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.
Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang.
Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.
Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.
Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan makanan/minuman yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul, bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus. Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.
Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.
Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke perut.
Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa, keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, dia minta kita menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari seluruh makanan yang kita perlukan.
Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.
Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih dulu.
Dia juga menganjurkan agar setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.
Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan di dalam "lumbung enzim-induk". Enzim-induk ini setiap hari dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.
Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.
Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang banyak.
Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah. Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang. Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras lumbung enzim.
Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.
Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu. Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.
Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi sebulan ke depan.
Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim-induk bertambah. Nah..... gan pei!
Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu -kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti menyalahi perilaku yang alami seperti itu?
"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme (Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.
Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang.
Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.
Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.
Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan makanan/minuman yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul, bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus. Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.
Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.
Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke perut.
Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa, keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, dia minta kita menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari seluruh makanan yang kita perlukan.
Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.
Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih dulu.
Dia juga menganjurkan agar setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.
Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan di dalam "lumbung enzim-induk". Enzim-induk ini setiap hari dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.
Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.
Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang banyak.
Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah. Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang. Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras lumbung enzim.
Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.
Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu. Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.
Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi sebulan ke depan.
Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim-induk bertambah. Nah..... gan pei!
04 Februari 2010
Fate | Late
Most believe that what's done is done
You cannot change fate no matter how hard you try
And those who challenge what is destined
will always be met with disappointment...
for fate has a way...of charting its own course.
But before one surrenders to the hands of destiny...
one might consider the power of the human spirit..
and the force that lies in one's own free will.
You cannot change fate no matter how hard you try
And those who challenge what is destined
will always be met with disappointment...
for fate has a way...of charting its own course.
But before one surrenders to the hands of destiny...
one might consider the power of the human spirit..
and the force that lies in one's own free will.
01 Februari 2010
Taj Mahal
Sebenarnya ia hanya sebuah monumen. Dibangun selama 22 tahun oleh Shah Jehan sebagai musoleum untuk mengenang istri tercintanya Mumtaz ul Zamani yang lebih dikenal sebagai Mumtaz Mahal. Sebuah arsitektur atas nama cinta yang menjadi satu bangunan terindah di dunia.
Seusai dengan maksudnya, bangunan itu pun disebut sebagai Taj Mahal. Letaknya di Agra, India kawasan Uttar Paradesh. Persis di tepian Sungai Yamuna. Pembangunannya melibatkan 20.000 pekerja, arsitek paling ahli, seniman ahli kerajinan tangan, sejumlah ahli kaligrafi, pemahat, ahli batu dari seantero India, Persia, dan Turki. Dibangun dengan presisi, emosi, seni arsitektur mengagumkan.
Bangunan itu berawal dari sebuah janji. Berpangkal dari tahun 1631, saat Mumtaz Mahal terbaring sekarat di sisi suaminya Shah Jehan, setelah melahirkan anak ke-14 bagi sang raja. Perempuan itu menagih empat janji dari sang raja. Pertama memohon dibangunya sebuah Taj, kedua memintanya tidak kimpoi lagi, ketiga menuntut perlakuan baik suaminya pada anak-anak mereka, dan terakhir memintanya untuk mengunjungi makamnya secara teratur. Tak lama kemudian Mumtaz mahal pun meninggal.
Shah Jehan sangat terpukul dengan kematian istrinya, namun ia segera mewujudkan janji bagi sang istri tercinta. Maka ia memerintahkan pembangunan sebuah Taj pada 1631. Selama 2 tahun Shah Jehan mengurung diri dan berkabung. Lantas pada 1633, ia akhirnya menekankan pembangunan sebuah makam bagi istrinya di dalam bangunan yang sedang dikerjakan itu.
Lambang Cinta
Mengapa disebut lambang cinta? Mari kita mundur ke tahun yang lebih awal. Shah Jehan, awalnya bernama Khurrum Shihab-ud-din Muhammad, merupakan pangeran dari Dinasti Mughal. Ia lahir dari 1592 di Lahore, dan menjadi putra ketiga yang paling disayang kaisar Jahangir. Ia diplot sang kaisar untuk menggantikannya kelak, dan ia pun dididik secara khusus termasuk dalam bidang budaya, pengetahuan, dan seni beladiri serta kemiliteran.
Di usia 16 tahun ia mengejutkan ayahnya dengan desain markasnya di dalam benteng Kabul dan mendesain ulang benteng Agra, setelah diberi wewenang oleh sang ayah untuk memimpin sejumlah pasukan. Ia kemudian menikah dengan Akbarabadi Mahal menyusul istri kedua Kandahari Mahal. Tetapi cinta sejati justru berkembang saat ia jatuh hati pada gadis belia 14 tahun Arjumand Banu Begum, cucu bangsawan Persia.
Ia terpaksa menunggu selama lima tahun sebelum diizinkan menikahi gadis menawan itu pada 1612. Dan seusai pesta pernikahan yang megah itu, istri ketiganya itu diberi julukan Mumtaz Mahal Begum. Mumtaz Mahal justru menjadi istri yang paling disayang dan dimanjakannya. Begitupun sang istri ini selalu menemaninya dalam setiap penugasan ke luar daerah. Setia menemani di dalam istana, maupun di tenda-tenda dalam perjalanan sang pangeran. Cinta kedua anak manusia ini memang sangat romantis, intim, dan harmonis.
Dalam misi tempur dari sang ayah, pada 1617, Khurram berkat dampingan Mumtaz, berhasil menaklukkan Lodi di Decan, serta mengamankan wilayah perbatasan selatan kerjaan dinasti Mughal. Untuk itu ia dianugerahi gelar “Shah Jehan Bahadur” oleh sang ayah. Gelar yang memastikannya akan menduduki tahta dinasti kelima Mughal.
Sejak Shah Jehan masih menjadi pangeran dan panglima perang, Mumtaz Mahal memang selalu mendampinginya dalam keadaan senang maupun susah, suka dan duka. Kisah cinta mereka tersiar di kalangan prajurit dan rakyat. Sampai akhirnya ketika menggantikan posisi ayahnya sebagai raja, Mumtaz Mahal selalu setia pada Shah Jehan.
Semua kisah cinta itu tak terlupakan oleh Shah Jehan sampai akhir hayatnya. Ketika ang istri meninggal, ia pun merasa amat terpukul. Namun semua kenangan akan cinta sejatinya dituangkan dalam pembangunan Taj Mahal. Selama 22 tahun (sejak 1631) sampai 1653, keseluruhan Taj Mahal rampung dibangun.
Bangunan setinggi hampir 60 meter itu dibuat dengan basis batu marmer dan beberapa bagiannya diberi ukiran, hiasan, dan lapisan emas, perak, dan berlian. Semua mata takjub dan berdecak kagum. Melihat Taj Mahal, semua orang yakin bahwa tak ada bangunan lain yang mampu menandingi keindahannya. Benar-benar wujud cinta yang paling dalam. Hingga ajalnya di tahun 1666, Shah Jehan pun dimakamkan di samping makam istrinya di dalam Taj Mahal. Menjadi lambang cinta sejati, hingga hari ini…
Taj Mahal dalam Mitos
Taj Mahal memang mengandung nuansa berbeda. Banyak kontroversi yang melambung dari sana. Mungkin karena aura dan keindahan bangunan tersebut memang mampu memengaruhi emosi pengunjungnya.
Jean-Baptiste Travernier mungkin menjadi “turis” Eropa pertama yang mengunjungi Taj Mahal. Dari kunjungannya tahun 1665, ia menuliskan bahwa kemungkinan Shah Jehan berencana membangun Taj Mahal dengan marmer hitam. Namun Shah Jehan mungkin sudah digantikan anaknya Aurungzeb sebelum Taj Mahal dibangun. Sehingga akhirnyadibuat dengan marmer putih.
Sisa-sisa marmer hitam masih terlihat di seberang sungai di Moonlight Garden, Mahtab Bagh, yang tampaknya mendukung versi legenda ini. Namun hasil penelitian dan penggalian di sana pada 1990 menemukan bahwa marmer itu adalah marmer putih yang berubah warna menjadi hitam. Teori tersebut juga sudah diuji coba pada 2006 di lokasi tersebut dan membuktikan bahwa marmer yang digunakan adalah memang marmer putih dan bukan hitam.
Masih banyak lagi mitos dan kontroversi soal Taj Mahal. Termasuk keraguan apakah Taj Mahal memang dibangun khusus untuk mengenang kisah cinta Shah Jehan bagi sitrinya Mumtaz Mahal, atau lebih daripada itu yaitu merupakan refleksi cinta yang lebih murni dalam konsep spiritual ilahi. Atau sekadar propaganda dinasti Mughal untuk menunjukkan kajayaan mereka semata? Belum ada yang bisa memastikan.
Bangunan yang mengusung konsep simetris itu merupakan satu pertanyaan lain. Lalu penataan kolam dan refleksi langsung Taj Mahal di atas air menjadi bahan perdebatan lainnya.
Seribu satu pertanyaan masih mengantung di seputar Taj Mahal…
Keindahan Mengagumkan yang Misterius
Taj Mahal mewakili arsitektur mewah yang terbaik dari dinasti Mughal. Aslinya mencerminkan perpaduan budaya dan sejarah kekasiran Islam Mughal yang pernah menguasai India. Walau bentuknya mirip tampilan fisik bangunan masjid, namun sesungguhnya ia merupakan sebuah makam penghormatan.
Taj Mahal Mudah dikenali dari ciri kubah putih marmer, tatanan kompleksnya dan areal taman di lahan seluas 22,44 hektar. Termasuk aea makam tambahan, infrastruktur pengairan, kota kecil Taj Ganji dan taman bulan purnama di utara sungai.
Dalam catatan sejarah Taj mahal masih diliputi kabut misteri. Masih tidak diketahui secara pasti latar belakang berdirinya kompleks Taj Mahal, walau diyakini sebagai persembahan cinta Shah Jehan terhadap istrinya Mumtaz Mahal.
Begitu juga dengan arsitek utama yang merancang bangunan tersebut. Ada yang menduganya adalah arsitek India, Persia, bahkan Italia. Yang pasti bahwa pembangunannya melibatkan kolaborasi sejumlah seniman, ahli, dan perajin dari berbagai daerah.
Namun sejumlah penelitian merujuk bahwa sang arsitek utama yang misterius itu kemungkinan besar adalah seorang Italia. Seseorang yang bernama Geronimo Veroneo. Dugaan muncul berdasarkan pernyataan Father Manrique, seorang Augustinian Friar, yang berkunjung ke Agra pada 1640 dalam upaya menjemput Father Antony yang akan dibebaskan dinasti Mughal dari penjara.
Namun kesaksian ini justru sangat ditentang oleh banyak orang yang meragukan ada seniman besar Italia di abad ke 17 yang berada di India. Namun sejumlah makam Kristen Padres Santos di Agra memang menjadi satu bukti bahwa orang Eropa sudah berada di Agra saat pembangunan Taj Mahal dan masa sesudahnya.
Satu kemewahan lain dari Taj Mahal adalah pengguaan materialnya yang didatangkan dari seluruh India dan Asia. Dindingnya dibentuk dengan potongan batu marmer dan batu pasir dalam teknik konstruksi pengunci besi. Seribuan gajah digunakan sebagai pengangkut material itu.
Untuk memenuhi kebutuhan batu pasirnya, didatangkan dari tambang di dekat Fatehour Sikri, lalu marmer putihnya dari Raja Jai Singh di Makrana, Rajasthan. Permata jasper berasal dari Punjab, permata jade dan kristal dari Tiongkok. Permata pirus dari Tibet, batu lapis Lazuli dari Afghanistan, batu safir dari Srilanka dan carnelian dari Arabia. Setidaknya ada 28 jenis batu permata yang digunakan sebagai penghias Taj Mahal.
Semua informasi detail mengenai pembangunan Taj Mahal memang masih terselubung. Entah mengapa bangunan yang belakangan ini tetap menjadi satu dari tuiuh keajaiban dunia modern (yang baru) itu, masih menyimpan rahasia besar. Namun nilai seni, sejarah, budaya dan filosofinya yang memang sarat akan tafsir, tetap menjadi satu warisan perdaban manusia. Sejak 1983, Taj Mahal sudah menjadi salah satu Situs Warisan Dunia yang ditetapkan UNESCO.
Ia menjadi daya tarik wisata di India, khususnya wilayah Uttar Paradesh…
Seusai dengan maksudnya, bangunan itu pun disebut sebagai Taj Mahal. Letaknya di Agra, India kawasan Uttar Paradesh. Persis di tepian Sungai Yamuna. Pembangunannya melibatkan 20.000 pekerja, arsitek paling ahli, seniman ahli kerajinan tangan, sejumlah ahli kaligrafi, pemahat, ahli batu dari seantero India, Persia, dan Turki. Dibangun dengan presisi, emosi, seni arsitektur mengagumkan.
Bangunan itu berawal dari sebuah janji. Berpangkal dari tahun 1631, saat Mumtaz Mahal terbaring sekarat di sisi suaminya Shah Jehan, setelah melahirkan anak ke-14 bagi sang raja. Perempuan itu menagih empat janji dari sang raja. Pertama memohon dibangunya sebuah Taj, kedua memintanya tidak kimpoi lagi, ketiga menuntut perlakuan baik suaminya pada anak-anak mereka, dan terakhir memintanya untuk mengunjungi makamnya secara teratur. Tak lama kemudian Mumtaz mahal pun meninggal.
Shah Jehan sangat terpukul dengan kematian istrinya, namun ia segera mewujudkan janji bagi sang istri tercinta. Maka ia memerintahkan pembangunan sebuah Taj pada 1631. Selama 2 tahun Shah Jehan mengurung diri dan berkabung. Lantas pada 1633, ia akhirnya menekankan pembangunan sebuah makam bagi istrinya di dalam bangunan yang sedang dikerjakan itu.
Lambang Cinta
Mengapa disebut lambang cinta? Mari kita mundur ke tahun yang lebih awal. Shah Jehan, awalnya bernama Khurrum Shihab-ud-din Muhammad, merupakan pangeran dari Dinasti Mughal. Ia lahir dari 1592 di Lahore, dan menjadi putra ketiga yang paling disayang kaisar Jahangir. Ia diplot sang kaisar untuk menggantikannya kelak, dan ia pun dididik secara khusus termasuk dalam bidang budaya, pengetahuan, dan seni beladiri serta kemiliteran.
Di usia 16 tahun ia mengejutkan ayahnya dengan desain markasnya di dalam benteng Kabul dan mendesain ulang benteng Agra, setelah diberi wewenang oleh sang ayah untuk memimpin sejumlah pasukan. Ia kemudian menikah dengan Akbarabadi Mahal menyusul istri kedua Kandahari Mahal. Tetapi cinta sejati justru berkembang saat ia jatuh hati pada gadis belia 14 tahun Arjumand Banu Begum, cucu bangsawan Persia.
Ia terpaksa menunggu selama lima tahun sebelum diizinkan menikahi gadis menawan itu pada 1612. Dan seusai pesta pernikahan yang megah itu, istri ketiganya itu diberi julukan Mumtaz Mahal Begum. Mumtaz Mahal justru menjadi istri yang paling disayang dan dimanjakannya. Begitupun sang istri ini selalu menemaninya dalam setiap penugasan ke luar daerah. Setia menemani di dalam istana, maupun di tenda-tenda dalam perjalanan sang pangeran. Cinta kedua anak manusia ini memang sangat romantis, intim, dan harmonis.
Dalam misi tempur dari sang ayah, pada 1617, Khurram berkat dampingan Mumtaz, berhasil menaklukkan Lodi di Decan, serta mengamankan wilayah perbatasan selatan kerjaan dinasti Mughal. Untuk itu ia dianugerahi gelar “Shah Jehan Bahadur” oleh sang ayah. Gelar yang memastikannya akan menduduki tahta dinasti kelima Mughal.
Sejak Shah Jehan masih menjadi pangeran dan panglima perang, Mumtaz Mahal memang selalu mendampinginya dalam keadaan senang maupun susah, suka dan duka. Kisah cinta mereka tersiar di kalangan prajurit dan rakyat. Sampai akhirnya ketika menggantikan posisi ayahnya sebagai raja, Mumtaz Mahal selalu setia pada Shah Jehan.
Semua kisah cinta itu tak terlupakan oleh Shah Jehan sampai akhir hayatnya. Ketika ang istri meninggal, ia pun merasa amat terpukul. Namun semua kenangan akan cinta sejatinya dituangkan dalam pembangunan Taj Mahal. Selama 22 tahun (sejak 1631) sampai 1653, keseluruhan Taj Mahal rampung dibangun.
Bangunan setinggi hampir 60 meter itu dibuat dengan basis batu marmer dan beberapa bagiannya diberi ukiran, hiasan, dan lapisan emas, perak, dan berlian. Semua mata takjub dan berdecak kagum. Melihat Taj Mahal, semua orang yakin bahwa tak ada bangunan lain yang mampu menandingi keindahannya. Benar-benar wujud cinta yang paling dalam. Hingga ajalnya di tahun 1666, Shah Jehan pun dimakamkan di samping makam istrinya di dalam Taj Mahal. Menjadi lambang cinta sejati, hingga hari ini…
Taj Mahal dalam Mitos
Taj Mahal memang mengandung nuansa berbeda. Banyak kontroversi yang melambung dari sana. Mungkin karena aura dan keindahan bangunan tersebut memang mampu memengaruhi emosi pengunjungnya.
Jean-Baptiste Travernier mungkin menjadi “turis” Eropa pertama yang mengunjungi Taj Mahal. Dari kunjungannya tahun 1665, ia menuliskan bahwa kemungkinan Shah Jehan berencana membangun Taj Mahal dengan marmer hitam. Namun Shah Jehan mungkin sudah digantikan anaknya Aurungzeb sebelum Taj Mahal dibangun. Sehingga akhirnyadibuat dengan marmer putih.
Sisa-sisa marmer hitam masih terlihat di seberang sungai di Moonlight Garden, Mahtab Bagh, yang tampaknya mendukung versi legenda ini. Namun hasil penelitian dan penggalian di sana pada 1990 menemukan bahwa marmer itu adalah marmer putih yang berubah warna menjadi hitam. Teori tersebut juga sudah diuji coba pada 2006 di lokasi tersebut dan membuktikan bahwa marmer yang digunakan adalah memang marmer putih dan bukan hitam.
Masih banyak lagi mitos dan kontroversi soal Taj Mahal. Termasuk keraguan apakah Taj Mahal memang dibangun khusus untuk mengenang kisah cinta Shah Jehan bagi sitrinya Mumtaz Mahal, atau lebih daripada itu yaitu merupakan refleksi cinta yang lebih murni dalam konsep spiritual ilahi. Atau sekadar propaganda dinasti Mughal untuk menunjukkan kajayaan mereka semata? Belum ada yang bisa memastikan.
Bangunan yang mengusung konsep simetris itu merupakan satu pertanyaan lain. Lalu penataan kolam dan refleksi langsung Taj Mahal di atas air menjadi bahan perdebatan lainnya.
Seribu satu pertanyaan masih mengantung di seputar Taj Mahal…
Keindahan Mengagumkan yang Misterius
Taj Mahal mewakili arsitektur mewah yang terbaik dari dinasti Mughal. Aslinya mencerminkan perpaduan budaya dan sejarah kekasiran Islam Mughal yang pernah menguasai India. Walau bentuknya mirip tampilan fisik bangunan masjid, namun sesungguhnya ia merupakan sebuah makam penghormatan.
Taj Mahal Mudah dikenali dari ciri kubah putih marmer, tatanan kompleksnya dan areal taman di lahan seluas 22,44 hektar. Termasuk aea makam tambahan, infrastruktur pengairan, kota kecil Taj Ganji dan taman bulan purnama di utara sungai.
Dalam catatan sejarah Taj mahal masih diliputi kabut misteri. Masih tidak diketahui secara pasti latar belakang berdirinya kompleks Taj Mahal, walau diyakini sebagai persembahan cinta Shah Jehan terhadap istrinya Mumtaz Mahal.
Begitu juga dengan arsitek utama yang merancang bangunan tersebut. Ada yang menduganya adalah arsitek India, Persia, bahkan Italia. Yang pasti bahwa pembangunannya melibatkan kolaborasi sejumlah seniman, ahli, dan perajin dari berbagai daerah.
Namun sejumlah penelitian merujuk bahwa sang arsitek utama yang misterius itu kemungkinan besar adalah seorang Italia. Seseorang yang bernama Geronimo Veroneo. Dugaan muncul berdasarkan pernyataan Father Manrique, seorang Augustinian Friar, yang berkunjung ke Agra pada 1640 dalam upaya menjemput Father Antony yang akan dibebaskan dinasti Mughal dari penjara.
Namun kesaksian ini justru sangat ditentang oleh banyak orang yang meragukan ada seniman besar Italia di abad ke 17 yang berada di India. Namun sejumlah makam Kristen Padres Santos di Agra memang menjadi satu bukti bahwa orang Eropa sudah berada di Agra saat pembangunan Taj Mahal dan masa sesudahnya.
Satu kemewahan lain dari Taj Mahal adalah pengguaan materialnya yang didatangkan dari seluruh India dan Asia. Dindingnya dibentuk dengan potongan batu marmer dan batu pasir dalam teknik konstruksi pengunci besi. Seribuan gajah digunakan sebagai pengangkut material itu.
Untuk memenuhi kebutuhan batu pasirnya, didatangkan dari tambang di dekat Fatehour Sikri, lalu marmer putihnya dari Raja Jai Singh di Makrana, Rajasthan. Permata jasper berasal dari Punjab, permata jade dan kristal dari Tiongkok. Permata pirus dari Tibet, batu lapis Lazuli dari Afghanistan, batu safir dari Srilanka dan carnelian dari Arabia. Setidaknya ada 28 jenis batu permata yang digunakan sebagai penghias Taj Mahal.
Semua informasi detail mengenai pembangunan Taj Mahal memang masih terselubung. Entah mengapa bangunan yang belakangan ini tetap menjadi satu dari tuiuh keajaiban dunia modern (yang baru) itu, masih menyimpan rahasia besar. Namun nilai seni, sejarah, budaya dan filosofinya yang memang sarat akan tafsir, tetap menjadi satu warisan perdaban manusia. Sejak 1983, Taj Mahal sudah menjadi salah satu Situs Warisan Dunia yang ditetapkan UNESCO.
Ia menjadi daya tarik wisata di India, khususnya wilayah Uttar Paradesh…
Langganan:
Postingan (Atom)