Ada istilah yang sering didengar ketika sudah mendekati bulan Ramadhan. Dulu waktu masih di sekolah dan waktu masih mahasiswa sering saya mendengar pertanyaan teman yang bunyinya, “ Puasa pertama dimana ?” Saya yang notabene orang yang tidak pernah jauh dari orang tua (ketika itu) tidak pernah kesulitan menjawabnya karena saya memang besar di tempat kelahiran saya. Yah, yang pertama memang selalu berkesan,motor pertama, Puasa pertama di bulan Ramadhan, apalagi pacar pertama. #eh
Pertanyaan puasa pertama memang adalah sebuah pertanyaan umum yang timbul karena kebiasaan atau adat kita sebagai orang Makassar (entah di daerah lain) . Kadang menghabiskan waktu pertama di bulan Ramadhan itu memang sangat berkesan jika bersama keluarga. Beberapa teman saya yang kini sudah bekerja di luar juga sampai sekarang masih melakukan kebiasaan ini. Kalau mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua mungkin punya alasan klasik jika ditanya mengenai kebiasaan ini. Bisa jadi beras di kostan tidak cukup untuk awal-awal Ramadhan, sekedar untuk hemat,atau mungkin kabur dari kejaran ibu kost yang menagih tunggakan uang kost.
Yang saya pikir membingungkan adalah orang-orang yang sudah mapan secara financial yang masih melakukan kebiasaan ini. Sering didapati di awal dan akhir Ramadhan pasti jalanan di ibukota manapun di Indonesia, tidak terkecuali Jakarta dan Makassar lumayan lengang . sampai kadang kita berpikir seandainya jalanan selalu lengang seperti itu, tapi yah ujung-ujungnya kembali lagi dan malah kadang semakin kesini semakin parah macetnya (resiko tinggal di kota berkembang).
Pertanyaan dimana puasa pertama ini selalu bisa saya jawab selama saya masih sekolah dan kala menjadi mahasiswa. Sampai tiba saat saya mulai menjalankan persyaratan lulus dari Unhas dulu yang mewajibkan tiap Mahasiswa menjalani Kerja Praktek di Perusahaan yang berhubungan dengan bidang studi masing-masing.Tahun 2008, Karena rasa penasaran yang tinggi dan ingin menguji reputasi kota kembang yang terkenal dengan cewek-cewek dan suasananya yang adem, maka saya beserta empat orang teman saya yang lain memutuskan untuk Kerja Praktek di Bandung karena kebetulan juga saya punya kenalan senior dari Elektro Unhas yang bekerja di sana.
Segala sesuatu memang harus diawali dengan niat. Kalo niatnya bagus, pasti hasilnya bagus juga. Tapi kalo niatnya tidak bagus, sudah pasti hasilnya bagus juga, tapi tidak ada nilai pahalanya Hehe. Yah, niat awal datang ke Bandung itu memang ada hasilnya, selain ilmu keelektroan, teman saya ada yang punya pacar orang Bandung, ada yang akhirnya ketemu keluarga jauh, dan saya berhasil memenuhi ambisi saya jalan kaki dari Bandung ke Cianjur, walaupun niat awal sampai ke Jakarta. Tapi itu ada di tulisan saya yang lain, untuk tulisan yang ini kan temanya puasa pertama jadi sebelum keasikan dengan panorama dan keindahan cew.. maksud saya kota Bandung, sebaiknya kembali ke topik awal sebelum terjadi sesuatu yang diinginkan..#eh
Dua bulan saya habiskan di Bandung, dan kebetulan ketika sudah mau pulang ada kontes pemrograman PLC yang diadakan ITB. Dan ternyata Unhas Juga ambil bagian dalam kompetisi bergengsi itu. Kebetulan yang menjadi peserta juga adalah teman dan yunior saya di kampus. Jadi saya memutuskan untuk pulang ke Makassar bersama rombongan itu saja. Mereka berencana naik Ferry dari Surabaya, jadi kami harus naik kereta api dulu ke Surabaya. Yang belum tahu bagaimana naik kereta api, jarak dari Bandung ke Surabaya itu 12 Jam melewati Jogja,Solo, Madiun dan kota-kota besar jawa lainnya, jadi bisa sekalian liat daerah lain, dan penjual dari daerah itu yang mendatangi kereta dan menjajakan jualannya mulai dari makanan sampai pakaian khasnya. Apalagi Jogja yang stasiun keretanya bersebelahan dengan jalan Malioboro... Sepertinya percakapan melebar lagi, nah ! setelah sampai di Surabaya kami menunggu jadwal pemberangkatan Ferry di pelabuhan Tanjung Perak. Disini baru dimulai cerita puasa pertamanya.
Jarak tempuh dari Surabaya ke Makassar dengan Ferry adalah tiga hari dua malam. Satu Ramadhan ternyata jatuh tiga hari dari hari saya naik kapal, yang juga berarti malam terakhir sebelum sampai di darat. Ini adalah pengalaman pertama saya puasa di luar Makassar, tepatnya di tengah laut. Berada di tengah laut, apalagi di saat ombak lagi tinggi-tingginya itu memang bikin urat nadi naik turun. Apalagi di atas kapal Ferry yang jalannya lebih lambat dari kapal Pelni yang besar. Saya dapat tempat tidur di dek bawah yang tentunya kena dampak ombak yang lebih dari dek-dek di atasnya. Tidak cukup banyak pilihan yang di tawarkan di tengah laut. Bisa tidur, baca buku, dengar musik, atau bisa juga naik anjungan lalu loncat ke laut.
Kapal Ferry yang saya tumpangi deknya masing-masing berbeda fungsi. Dek paling atas VIP, di bawahnya untuk penumpang hanya tersedia kursi berjejer seperti di bus tapi agak melebar, dan di depan ada panggung yang awalnya tidak saya ketahui fungsi utamanya karena saya naik di kapal siang hari dan tidak ada aktivitas. Di dek di bawahnya masih kursi dengan ada bar di bagian depan yang disediakan untuk peminum. Dan dek paling bawah, tempat saya dan teman-teman yang lain, adalah jejeran tempat tidur bersusun persis seperti bangsal rumah sakit tapi lebih ribut.
Malam harinya, baru saya tahu kalau tiap jam 8 akan ada acara orkes dangdut, atau kalau di daerah biasanya disebut candoleng-doleng di kapal itu. Pikir saya ini adalah hal yang sulit untuk dielakkan, karena saya berada di kapal yang berada di tengah laut, takutnya nanti tiba-tiba ada ombak besar yang menggulung kapal karena tidak suka dengan acara seperti itu. Tapi ketakutan saya tidak terjadi, mungkin terlalu berlebihan melihatnya seperti itu.
Malam terakhir di kapal saya dengar informasi kalo ada shalat tarawih di mushalla kapal, pikiranku barangkali nanti akan terganggu juga kalo orkes berbunyi tepat satu dek di bawah mushalla. Ketika adzan berkumandang, tidak ada suara lain yang saya dengar, tapi pikiran masih ke orkes tadi.. hahahaha untung tidak ada hari ini pikir saya. Setelah shalat tarawih saya kembali ke dek bawah untuk mengganti pakaian, dan tidak lama kemudian orkes dangdut entah asuhan siapa, bermain lagi. Tapi untung besoknya kapal sudah sampai di Makassar, kalo tidak bisa berat puasa ini di kapal. Hahaha
Selain waktu di kapal karena memang berkesan karena pertama kali puasa di luar Makassar, tahun 2009 dan 2010 saya juga tidak puasa di Makassar, tapi di Jakarta. Dan pertanyaan saya tentang kebiasaan orang Makassar untuk pulang ke kampung halaman ketika puasa hari pertama terjawab di dua tahun itu. Selain karena tentunya biaya yang tidak terlalu banyak, melimpahnya makanan di hari pertama, juga puasa hari pertama Ramadhan di kampung sendiri bikin kita merasa Ramadhan itu sangat meriah. Walaupun seberapa banyak teman , tetangga, atau orang sekitar, tidak meriah rasanya Ramadhan kalo tidak bersama orang-orang yang kita kasihi.
Tahun 2010 puasa pertama dengan senior, dan teman-teman yang tinggal satu atap, beli makanan sudah siap jadi, bebas mau bangun kapan saja, tapi selalu ada yang kurang, Mungkin karena belum bayar kontrakan atau rekening listrik, tapi memang kurang greget. Walaupun lambat laun juga ramadhan di kampung orang enak juga. Cuma mungkin karena kebiasaan saja.
Tahun 2011 saya pindah ke kantor baru dan tinggal di kemayoran tepatnya di apartemen (rumah susun), bersama beberapa keluarga asli betawi. Dan puasa pertama bersama kumpulan orang yang baru dikenal lumayan sakses, karena saya akrab dengan beberapa anak kecil di tempat itu, kalo mau tahu, di tempat tinggal saya itu jumlah anak kecil itu sangat banyak yang membuktikan kalo di daerah itu produktifitas suami istri sangat fertile, dan tidak tersosialisasikannya KB dengan merata di Kota Metropolitan. Tapi tinggal di sana , puasa pertama di sana memang enak karena semua seperti keluarga dan kalo telat bangun sahur ada kumpulan anak kecil yang akan menggedor pintu rumah untuk membangunkan di kala sahur, khusus untuk saya. Jadi mungkin kesimpulannya buatlah keluarga di mana saja, Karena keluarga itu bukan hanya karena hubungan darah atau pernikahan, tapi juga karena saling membutuhkan satu sama lain.
Makassar, 1 Ramadhan 1433 H
:::The 13th Hokage and the last jedi::: (*_)Smells like Fish..Taste Like Chicken(_*)
23 Juli 2012
14 Februari 2012
.: Nikmat
“Fain Tauddu Ni’matallahi La Tukhsuuha”
Apabila Kamu Menghitung Nikmat Allah ( Yang Diberikan Kepadamu ) Maka Engkau Tidak Akan Mampu (Karena Terlalu Banyak)
***
La In Syakartum La Aziidannakum Wa Lain Kafartum Inna ‘Adzaabi La Syadiid
Jika kamu bersyukur atas nikmat yang Ku-berikan kepadamu,
maka akan Aku tambah nikmat itu, tapi jika kamu mengingkarinya
(tidak mau bersyukur), maka ingatlah bahwa siksa-Ku sangatlah pedih.
***
“Tsumma Latus Alunna Yauma Idin ‘Aninna’im”
Sungguh Kamu akan Ditanya Pada Hari itu ( kiamat ), akan Nikmat yang Kamu Peroleh Saat Ini
***
“Fabiayyi ala i Rabbikuma Tukadziban"
Maka Ni’mat Tuhan Kamu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan ?
Apabila Kamu Menghitung Nikmat Allah ( Yang Diberikan Kepadamu ) Maka Engkau Tidak Akan Mampu (Karena Terlalu Banyak)
***
La In Syakartum La Aziidannakum Wa Lain Kafartum Inna ‘Adzaabi La Syadiid
Jika kamu bersyukur atas nikmat yang Ku-berikan kepadamu,
maka akan Aku tambah nikmat itu, tapi jika kamu mengingkarinya
(tidak mau bersyukur), maka ingatlah bahwa siksa-Ku sangatlah pedih.
***
“Tsumma Latus Alunna Yauma Idin ‘Aninna’im”
Sungguh Kamu akan Ditanya Pada Hari itu ( kiamat ), akan Nikmat yang Kamu Peroleh Saat Ini
***
“Fabiayyi ala i Rabbikuma Tukadziban"
Maka Ni’mat Tuhan Kamu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan ?
Langganan:
Postingan (Atom)